Ada
tiga hal utama yang disampaikan ustaz Salim A. Fillah dalam bukunya ‘Dalam
dekapan Ukhuwah’ .Dan tiga hal tersebutlah yang melatarbelakangi penulisan
“Dalam dekapan Ukhuwah" Ustaz Salim A Fillah banyak mengaitkan keadaan
masa kini dan sejarah para sahabat yakni yakni ketika zaman Jahiliyyah dan
selepasnya.
1.
Iman itu Hubungan
Kita
faham, bahawa iman itu adalah diyakini dalam hati, diucapkan secara lisan,
diamalkan dalam perbuatan. Ulama' juga jabarkan, bahwa yang di lisan boleh
berdusta, amal boleh berpura-pura, hati boleh sembunyi. Yang jelas, iman itu
dibuktikan dalam amal.
Sesama
Mu’min itu harus AMAN dari muslim lainnya.
Janganlah
menyakiti tetangga, kata sang Nabi SAW, Cukuplah dikata menyakiti tetangga bila
memasak makanan dan tetangga mencium baunya, tapi rasanya tidak sampai di
lidahnya.
Batas
minimum aman adalah ramah, iaitu berkata baik atau DIAM. Berkata yang baik itu
tak cukup berkata yang benar, tapi benar dalam isi, indah dalam cara, tepat
pada waktunya, bila tidak mampu (tiga hal tersebut), hendaklah DIAM.
"Barangsiapa yang banyak percakapannya, banyaklah kesalahannya,
barangsiapa yang banyak kesalahnnya maka banyaklah dosanya, dan barangsiapa
yang paling banyak dosanya maka api nerakalah baginya"(Riwayat Baihaqi)
Dalam
berkata yang benar, hendaklah dengan santun dan dengan cara yang tepat. Bila
tidak, akan melunturkan kebenaran itu sendiri, melunturkan martabatnya. Tapi
tak semua yang santun itu benar. Ada kala yang santun itu tidak benar. Misalnya
saja penipu. ^_^
Kebenaran
itu boleh menjadi sebuah kesalahan bila dikatakan pada waktu yang tidak tepat
dan tidak santun.
Dan
tidak semua yang benar itu baik, misalnya saja ghibah, membicarakan kejelekan
fizikal seorang kawan. Ghibah itu adalah mengatakan yang benar, tapi ghibah itu
adalah hal yang tidak baik. Kerana ghibah itu adalah bagaikan memakan bangkai
saudara sendiri.
Berkata
yang baik adalah tepat pada waktunya. Kerana mengatakan hal yang baik itu
dilakukan tuk ‘taklukkan’ hati. Kerana dalam menyeru kepada kebaikan(da'wah),
adalah suatu cara agar mad’u menjadi takluk hatinya untuk memeluk kebenaran itu
sendiri.
Dalam
Qur’an Surat An Nahl ayat 125 Allah Ta’ala berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[*] dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Hikmah:
ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak
dengan yang batil.
Tersebut
dalam ayat suatu prioriti dalam da’wah:
1)
Dengan hikmah -> hal yang penting dalam melakukan adalah dengan
memberikan satu kemanfaatan dari sudut pandang mad’u, bukan dari sudut pandang
da’i itu sendiri.
2)
Nasihat yang baik -> adalah suatu kewajipan, kerana dengan nasihat
yang baik pun nasihat boleh ditolak, apalagi dengan nasihat yang buruk.
3)
Debat -> gunakanlah dengan cara yang LEBIH BAIK daripada cara yang
digunakan lawan debat kita, TIDAK HANYA BAIK, tapi yang LEBIH BAIK. Bahkan,
debat dengan cara inipun masih ada kemungkinan untuk tidak diterima.
Kita
lihat kisah Nabi Ibrahim as, kurangnya apa dalam debat beliau? Tatkala ditanya,
“Siapakah yang melakukan ini semua?” (saat penghancuran berhala), “Tanya saja
pada patung yang paling besar itu! Bukankah kapaknya masih terkalung di leher
patung itu? Mungkin ia pelakunya?” jawab Nabi Ibrahim. Sungguh, sebuah jawaban
yang tak terbantah. Tapi bagaimanakah akhirnya?Apakah kaum itu akhirnya
beriman? Tidak! Nabi Ibrahim malah dibakar!
Dan
saat berdebat dengan Raja Namrud dari Babylon, yang telah Allah abadikan dalam
Al-Qur’an, Surat Al Baqarah ayat 258.
Ketika Nabi Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan
mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. (-Namrud memanggil 2 orang , membunuh yang satu, dan
membiarkan hidup yang satunya—untuk mengejek Nabi Ibrahim-).Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari
dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat,” lalu terdiamlah orang
kafir itu. Sungguh, Namrud telah terbungkam, sebuah perkataan yang telak, tak
terbantah!
Lawan
debat yang dipilih adalah tak tanggung-tanggung, seorang raja, yang bekuasa.
Tapi bagaimanakah akhirnya? Apakah Namrud beriman? Tidak! Nabi Ibrahim malah
diusir dengan kasar.
Dalam
berdebat dengan kawan kita pun, hendaklah gunakan cara terbaik.
Alangkah
indah perkataan Imam Syafi’e tentang debat, ”Pendapatku benar, tapi
berkemungkinan salah. Pendapatmu salah, tapi berkemungkinan benar.” Mengatakan
yang benar, tapi tak boleh menyakiti. Tapi bukankah ada Hadits,”Katakan yang benar meskipun pahit.” Ya! Tapi “katakan
yang benar”, bukan “Dengarkan yang benar meskipun pahit!” Jadi, dalam konteks
debat hadits tersebut tidak relevan untuk perkara ini. Mengapa?
Mari
ingat kembaili asbabul wurudnya, sebab adanya hadits ini. Hadits ini diucap
Sang Nabi SAW, saat itu adalah seorang pedagang yang meng-kulak barang
dagangannya. Kerana kurang teliti, ternyata barang tersebut kualitinya rendah,
rosak, dan buruk. Maka pedagang tersebut bertanya pada Nabi saw. “Bolehkah aku
berbohong (untuk menutupi fakta tersebut), minimal agar tak rugi (impas, untuk
mengembalikan modal)?” Maka sang Nabi saw menjawab, ”Katakan yang benar
meskipun pahit.”
Jadi,
dalam hal ini sakit bagi yang mengatakan, bagi kita yang harus jujur, bukan
yang mendengarkan. Jika yang dimaksud pahit bagi yang mendengar, mungkin
haditsnya, “Dengarkan yang benar meskipun pahit!”
Mu’min
itu harus saling berikan ke-NYAMAN-an. Cukup dengan senyum nan tulus,
wajah nan manis. Kerana unsur utama kecantikan adalah simetrisnya wajah. Misal
dua orang yang cantik adalah Madonna dan Lady Dayana. Apabila sebuah wajah,
terdiri dari setengan wajah Madonna, dan setengah wajah Lady Dayana, apakah
masih terlihat canti? ^^v. Untuk simetrik, maka tersenyumlah dengan tulus.
Kerana tersenyum tulus itu adalah menyimetriskan wajah. Sungguh berbeza bila
tersenyum tapi dengan wajah yang tak simestris. Ya! Senyum sinis. Akan sangat
berbeza.
Mu’min
harusnya saling berikan MANFAAT. Sebuah pohon, dengan akar nan menghujam
ke dalam tanah, batang yang yang bercecabang menjulang, adalah tak cukup! Tapi
juga berikan buahnya! Bahkan dalam memberikan buah pun harus dengan cara
terbaik. Sungguh berbeza, memberikan buah, dengan cara dilempar dibandingkan
dengan cara mengupaskan kulit buahnya dan menyuapkan ke dalam mulutnya. “Dalam
memberi itu,” kata Ibnu Katsir, “Adalah tanpa syarat! Memberi saat lapang,
ataupun saat sempit.”
Dan
demikianlah, iman itu adalah suatu hubungan.
2.
Hubungan itu Selayaknya Bersama Iman
Firman
Allah dalam Al-Qur’an surat Az Zukhruf ayat 67, “Teman-teman akrab pada hari
itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang
bertakwa.”
Jadi,
hubungan itu selayaknya bersama iman. Bila tidak, sungguh sangatlah berbahaya!
akan undang murka Allah, saling sesali, saling mengutuk, saling melaknat.
Pelajaran
Berharga
Cukuplah
kita jadikan pelajaran akan kisah ‘Uqbah ibn Abi Mu’aith dengan Ubay ibn
Kholaf. Saat itu, ‘Uqbah mencuri dengar akan Rasulallah SAW ketika membaca
Al Qur’an, ia pun tertarik dengan bacaan Qur’an tersebut dan berniat untuk
masuk Islam. Oleh kerananya, ia mencari teman karibnya, Ubay bin Kholaf, yang
sungguh, hubungan mereka berdua sangatlah dekat, untuk diajak masuk Islam
bersama. Tapi, tatkala berjumpa dengan Ubay bin Kholaf, Ubay bin Kholaf
palingkan muka pada ‘Uqbah. ‘Uqbah pun bingung dengan sahabatnya itu. Dan
akhirnya Ubay berkata, “Aku tahu! Engkau telah mencuri dengar bacaan Muhammad,
dan engkau tertarik dengan agama yang dibawanya kan??!”, tanya Ubay marah.
Mendengar pertanyaan itu, ‘Uqbah sedar bahawa kawannya tak suka dengan
Muhammad. Kerana takut hubungan persahabatannya itu rusak, ‘Uqbah pun membantah
perkataan Ubay bin Kholaf, “Bukan Begitu!!”. “Kalau begitu buktikan!”. Maka
‘Uqbah mengambil bekas, mengisi bekas dengan penuh dengan isi perut unta yang
baru keluar, lalu menyiramkannya pada Sang Nabi.
Maka
dari kisah itu, saat di akhirat kelak, ‘Uqbah menyesal dengan sangat akan
kejadian itu. Dan sesal itu telah Allah abadikan dalam Qur’an, “Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak
menjadikan sifulan itu teman akrab(ku).” [Al Furqan:28]
Padahal,
jalan menuju pada Islam tinggal selangkah lagi, tapi ‘Uqbah lebih memilih
menjaga persahabatannya.
Jadi,
marilah kita belajar, berhati-hati dalam berteman akrab, dalam meletakkan cinta
pada persahabatan. Kerana orang yang mencintainya itu akan membersamai orang
yang dicintanya. Sebagaimana sabda Sang Nabi saw.,”Seseorang
itu, akan membersamai dengan siapa yang ia cintai.”
Hadits
tersebut diambil dari hadits yang sebagaimana diriwiyatkan oleh Anas bin Malik
RA, ada sesorang yang bertanya kepada Nabi saw tentang hari kiamat, “Bilakah
kiamat datang?” Nabi SAW pun bertanya,”Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menghadapinya?” Orang itu menjawab,”Aku belum mempersiapkan solat dan puasa
yang banyak, hanya saja, aku mencintai Allah dan RasulNya.” Maka Rasulullah saw
bersabda,”seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan
engkau akan bersama dengan yang engkau cintai.
Dan
sungguhlah indah bila saling mencinta kerana Allah. Kerana balasan dari Allah
sungguh luar biasa, bahkan buatkan Nabi dan syuhada’ iri padanya. Tersebut
dalam hadits, “Orang-orang yang berkasih sayang kerena
kemuliaan-Ku, mereka mempunyai beberap-beberapa mimbar cahaya, sangat
dicita-citakan tempat-tempat mereka itu oleh para Nabi, Shaddiqin dan Syuhada.”
Dan
kita harus menyedari, bahawa cinta memang memerlukan kebersamaan. Dan dalam
kebersamaan, kita akan mencapai tempat yang tak mungkin tercapai dengan
kesendirian. Sebuah analogi, seekor semut yang ada di Selangor tidak mungkin
akan sampai di Kelantan. Akan tetapi, adalah sebuah kebetulan, semut tersebut
masuk ke dalam beg orang yang dari Shah Alam hendak terbang dengan Kapal
Terbang menuju Kelantan. Maka, dengan ‘kebersamaan’ beg tersebut, semut itu
boleh pergi ke Kelantan tengok red warrior lawan(huhu)(lebih kurang begitu^^)
Dan
dalam mencintai, hendaknya diutamakan kerana Allah. Tapi maknanya adalah lebih
dalam, mencintai kerana Allah, dengan cara yang diredhai Allah, dan untuk
mencari redha Allah SWT.
3.
Iman itu Berkurang dan Bertambah (Fluktuatif)
Kerena
kita sedar bahawa iman yang ada pada kita itu adalah fluktuatif(berubah-ubah),
kadang berkurang, kadang bertambah, kadang bersemi, kadang layu. Oleh kerana
itu, perlu sebuah ‘keterampilan’ untuk suburkannya.
Ingatkan
bila tersalah ye..WaLlahu A’lam.^_^
sumber : buku DALAM DEKAPAN UKHUWAH karya ustaz Salim A. Fillah